04 May 2009

Excuse me, there is no legislative class!

Suatu hari saya akan melakukan perjalanan dengan menggunakan angkutan bus. Seperti biasa, untuk kenyamanan perjalanan, saya akan memilih bus kelas eksekutif. Ketika menunggu keberangkatan, perhatian saya tertuju kepada seorang bapak paroh baya. Sepintas sepertinya berasal dari golongan atas. Tapi dari cara berpakaiannya, setelan kemeja dan dasi, dipadu dengan jaket, saya menduga-duga bapak ini publik figur di daerah. Tapi saya tidak tertarik dengan penampilannya yang norak itu, tetapi lebih menarik perhatian karena mondar-mandir dari satu kaunter ke kaunter yang lain. Sudah semua kaunter bus dimasukinya. Mungkin karena sudah capek, dengan wajah kesal, beliau duduk di sebelah saya. Dengan gaya khasnya beliau lalu bertanya, "tidak adakah bus yang lebih mewah di terminal sebesar ini?". Saya lalu menunjukkan tiket bus yang sudah saya pesan dan mengatakan bahwa ini adalah tiket bus termahal 'kelas eksekutif'. Tapi dengan enteng si Bapak mengatakan ingin kelas yang lebih tinggi lagi, yaitu bus kelas legislatif. Ketika saya selidiki lebih jauh ternyata si Bapak adalah seorang petani dari sebuah desa, yang sangat mengidolakan dan terobsesi dengan gaya hidup wakil rakyat (nya) saat ini. 

Gaya dan perilaku sebahagian wakil rakyat memang tidak lagi merepresentasikan kehidupan rakyat (miskin) yang diwakilinya. Banyak wakil rakyat kelihatan glamour, selebritis, high class, suka barang-barang branded, trendy dan suka pesiar ke luar negeri. Begitu juga halnya dengan wakil-wakil rakyat di daerah, meskipun kelihatan masih norak, tapi cara berpakaiannya sudah lebih eksklusif. Kemana-mana berpakaian rapi (kemeja dipadu dasi instan yang mudah dipakai kerana ada ikatan di belakang). Meskipun kadang-kadang tidak bisa menyelaraskan antara warna/motif baju dan dasinya, serta kapan dasi cocok dipakai, tapi kelihatan jauh lebih mentereng dari rakyatnya. Kita tentu tidak berharap rakyat meniru gaya wakilnya itu. Tapi seperti pengalaman yang saya alami di atas, kita takut rakyat memang sedang mengidolakan wakil-wakilnya itu sehingga segala gayanya patut ditiru, bahkan mulai terbiasa mencari fasilitas kelas legislatif.

Hotel-hotel berbintang, restoran-restoran mewah, dan tempat huburan eksekutif (bukan legislatif) acap menjadi tempat pertemuan sebahagian wakil rakyat. Fakta ini setidaknya terungkap dari beberapa kasus yang melibatkan wakil rakyat yang perlahan mulai terungkap. Lihat saja, betapa bangganya petani itu dengan gaya ala legislatif yang mungkin selalu disaksikannya, atau didengarnya. Agaknya memang perlu segera disikapi permintaan pak tani itu. Jadi jangan hanya fasilitas kelas eksekutif saja yang disediakan. Agaknya memang sudah perlu disediakan fasilitas kelas legislatif. Sehingga hotel-hotel, restoran, lounge, penerbangan, bus, perbankan tidak hanya menyediakan fasilitas kelas eksekutif, tetapi membuat kelas yang lebih tinggi lagi (meminjam istilah petani itu) yaitu 'kelas legislatif'. Siapa tahu orang-orang seperti petani itu memerlukannya.

Sama seperti pembunuhan berantai, satu persatu segala kebusukan perilaku oknum wakil rakyat, mulai terungkap. Tapi anehnya, rakyat tidak begitu peduli dan tidak tercengang dengan kasus suap dan perzinahan yang terungkap itu. Tidak ada protes, tidak ada demonstrasi, tidak ada tindakan brutal, seperti yang biasa dilakukan oleh beberapa kelompok massa, jika melihat sebuah indikasi penyimpangan norma. Apakah karena rakyat sangat hormat dan memuliakan para wakil yang telah mereka pilih sendiri, sehingga segala perbuatan, dalam bentuk apapun, patut dan harus di lindungi, atau mungkinkah karena rakyat sudah lebih dahulu mengetahui segala kebusukan itu jauh-jauh hari sebelum aparat penegak hukum mengungkapnya.

Memang masih banyak wakil rakyat yang masih memiliki nurani dan kepedulian kepada rakyatnya. Mereka ini layak kita pertimbangkan untuk dipilh menjadi wakil rakyat pada Pemilu 2009. Tapi, bagi mereka yang sudah terbukti tidak peduli dengan rakyatnya, apalagi melakukan perbuatan tercela sebagai politisi busuk, tentu tidak perlu pertimbangan lagi untuk membuangnya jauh-jauh. Masih banyak orang Indonesia yang jauh lebih baik, lebih peduli kepada nasib kaum miskin.

Read more...

03 May 2009

Pernikahan Dini vs Perzinahan Dini

Ketika Pujiono Cahyo Widianto, sang miliyuner, yang akrab disapa Syekh Puji menikah (lagi), tiba-tiba pernikahan itu menjadi sangat sensasional dan menimbulkan kontoversi. Banyak kalangan merasa antipati dengan manuver perkawinan pemilik ponpes Miftakhul Jannah itu, hanya karena sang syekh memilih gadis belia berusia menjelang 12 tahun. Salahkah perbuatan syekh Puji? Dari sinilah kontroversi itu bermula. Kita begitu banyak mendengar dan menyaksikan orang-orang berkomentar miring terhadap perkawinan dini, dengan alasan anak-anak yang melakukan perkawinan dini akan kehilangan masa indahnya sebagai anak-anak.

Tahukan kita bahwa begitu banyak anak-anak yang terlibat zina dini? Anak-anak ini bukan saja hanya kehilangan indahnya masa anak-anak, tetapi bahkan telah kehilangan keindahan di sepanjang hidupnya. Begitu banyak anak-anak, terutama kalangan marjinal, tidak pernah merasakan indahnya masa anak-anak itu, meskipun mereka tinggal bersama orang tua sendiri. Bahkan tidak jarang, perlakuan buruk, bejat dan tanpa peri kemanusiaan itu justeru datang dari orang-orang yang seharusnya memberikan keindahan masa anak-anak itu.

Banyak kalangan menilai bahwa perkawinan (lagi) syekh Puji didasari oleh hawa nafsunya (syahwat), sehingga sang syekh dihujat. Tapi adakah perkawinan di dunia ini yang tidak melibatkan hawa nafsu?. Ternyata syekh Puji memiliki kecerdasan nafsu yang sangat cemerlang. Nafsunya ternyata tidak tertarik kepada kecantikan dan keindahan penampilan fisik semata. Ia tidak mengumbar nafsunya kepada para selebriti, misalnya para artis yang cuantik dan sueksi ‘bok…. (sorry ya seleb!!!). Ia tidak tertarik untuk memperisteri perempuan-perempuan cantik yang memiliki rekam jejak masa lalu yang aneh-aneh. Padahal dengan segala nikmat duniawi yang dimilikinya beliau dengan mudah dapat melakukannya.

Sykeh Puji juga tidak mengumbar nafsunya kepada para pekerja sek anak-anak (katanya bahkan ada yang berumur antara tujuh sampai sepuluh tahun). Padahal kalau ia mau, itu juga dengan sangat mudah ia dapatkan. Tapi itulah syekh Puji, yang kemudian memilih seorang gadis yang sangat jelas identitas jasmani dan rohaninya.

Jodoh manusia memang sudah ditentukan oleh Sang Pencipta. Akan tetapi, jika tanpa usaha, maka jodoh itu tidak akan pernah ditemukan. Sykeh Puji agaknya yakin benar bahwa Lutfiana Ulfa adalah bahagian dari ketentuan Sang Pencipta itu. Ia berusaha (mencari) lalu menemukan jodohnya itu. Ia mengangkat derajatnya, membimbingnya, melindunginya, mendidiknya, memperisterikannya, menjadikannya wanita muslimah yang terhormat, tidak membiarkannya terjerumus kedalam perbuatan zina dini, memberinya nafkah lahiriah yang berlimpah. Bukankah itu semua adalah tujuan hidup seorang wanita. Jika saja gadis belia Lutfiana Ulfa menemukan itu semua dalam usia dini, apakah itu harus diingkari?

Saya bukanlah pembela perilaku Pujiono Cahyo Widianto, saya tidak pernah mengenal beliau baik secara langsung maupun tidak langsung. Dan Insya Allah saya juga tidak berniat dan tidak berminat mengikuti jejak langkahnya. Saya hanya pemerhati masalah sosial, terutama masalah kemiskinan. Cobalah telusuri lebih jauh, kebanyakan anak-anak usia sekolah dasar dan sekolah menengah sekarang ini hanya bicara tiga hal; seksual, obat-obatan, dan hura-hura, menyedihkan.

Di jalanan sana banyak anak-anak (gadis) sebaya Lutfiana Ulfa, bahkan mungkin jauh lebih belia, yang bernasib buruk. Mereka-mereka itu tidak dinikahi dini, tetapi dizinahi sejak dini. Seandainya saja ada banyak orang seperti syekh Puji dan mau menyelamatkan mereka, meskipun harus melakukan pernikahan dini, akankah kak Seto Cs, para ulama, aparat penegak hukum, dan para moralis lainnya akan melarangnya? Lantas membiarkan mereka melakukan zinah dini?

Read more...

Berharap Peningkatan Kualitas Pembangunan dari SKTK

Pada hari Jum’at, 25 April 2008 yang lalu, saya menyampaikan makalah berjudul “Manajemen Proyek”, dan “Bisnis Kontraktor” pada acara Sertifikasi Keterampilan Tenaga Kerja (SKTK), yang diselenggarakan oleh Badan Sertifikasi Keterampilan Unit Pendidikan dan Pelatihan Jasa Konstruksi Fakultas Teknik Universitas Riau.

Kita semua patut mengapresiasi dengan sunguh-sungguh keinginan berbagai pihak, baik pihak pemerintah, pihak pebisnis jasa konstruksi, maupun masyarakat pelaku pembangunan di negara ini, untuk meningkatkan kualitas pelaksanaan dan produk pembangunan. Pelaksanaan dan produk pembangunan memang selalu menjadi pembicaraan miring, menjadi stigma yang melekat pada para pelaku pembangunan. Jika persoalan ini tidak segera dibenahi maka cara pandang dan stigma ini akan sulit untuk diluruskan.

Masyarakat memang sangat diharapkan berperan sebagai social control, yang bisa mengawasi jalannya pembangunan. Dan pengawasan itu hendaknya dilakukan secara komprehensif, sejak awal hingga akhir. Pengawasan itu harus dimulai sejak adanya usulan masyarakat berdasarkan kebutuhan (bukan keinginan) untuk sebuah proyek kepada pemerintah, pembahasan di legislatif, hingga akhir pelaksanaan proyek. Dengan demikian, masyarakat yang ingin melakukan pengawasan dapat memahami input, output, outcome dan impact proyek, lalu kemudian memberikan penilaiannya. Jangan mengawasi secara sepenggal-sepenggal, karena bisa menimbulkan konplik. Bagaimanapun juga, sebuah proyek adalah proses dalam sebuah system, yang merlukan waktu, mekanisme, dan sangat banyak melibatkan sumberdaya.

Setiap langkah dalam proses itu sangat rawan terhadap penyimpangan. Penyimpangan-penyimpangan itulah yang harus dikontrol. Tidak jarang penyimpangan itu direncanakan secara sistematis, berulang-ulang dan melibatkan banyak orang dan pihak. Hal-hal semacam itulah yang perlu diawasi oleh masyarakat.. Pada tulisan terdahulu, saya mengungkap sebahagian kejahatan tender/lelang yang umum terjadi di tengah penyelenggaraan tender/lelang proyek pemerintah di Indonesia.
Beberapa orang peserta SKTK meminta diagram proses pelaksanaan pengadaan barang dan jasa, yang sebahagian saya posting di sini.

Kita berharap, semoga dengan penyelenggaraan SKTK ini akan memberikan sumbangan yang besar terhadap peningkatan kualitas penyelenggaraan dan produk pembangunan di Indonesia. (Tulisan yang berhubungan dapat dibaca pada buku “Menghapus Jejak Kemiskinan, An Unconventional Approach, Kampar Way” karya: Alfian Malik, ISBN 978-979-792-128-6)

Read more...

Pengadaan Barang/Jasa vs Cyber Crime

Dalam usaha penerapan pemerintahan yang baik (good governance), pemerintah Indonesia secara perlahan mulai memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (ICT). Pemerintah Indonesia membuat kesepakatan dengan Amerika Serikat dalam hal penerapan pemerintah yang bersih, yang ditindaklanjuti dengan pembentukan Millenium Challenge Corporation (MCC), berupa kerja sama proyek LPSE (Layanan Pengadaan Secara Elektronik). Sistem ini diprediksi oleh kalangan pemerintah akan mampu melawan berbagai kejahatan tender yang selama ini menjadi salah satu permasalahan serius dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah, tapi mungkinkah?

Teknologi memang semestinya membawa perubahan ke arah yang lebih baik, termasuk dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah di Indonesia. Satu kendala besar yang mungkin akan dihadapi oleh pemerintah justeru bukan berasal dari penguasaan teknologinya, karena MCC akan membantu perangkat lunak dan penyiapan SDM. Masalahnya adalah minimnya infra struktur daerah, dan satu lagi yang paling serius, yaitu sulitnya merobah mindset orang Indonesia (pemerintah dan masyarakat) dari sistem manual menuju sistem digital.

Kita masih ingat, bagaimana bangganya pemerintah/pemerintah daerah memperkenalkan sistem KTP on-line (maaf, istilah ini kurang pas, emangnya chating…). Waktu itu saya membayangkan istilah on-line ini sama seperti melakukan chating. Jadi, dari rumah kita bisa saling berkomunikasi dengan pihak aparat kantor kecamatan, mengimput data, lalu selesai. Tapi ternyata KTP on-line itu pelaksanaannya di daerah masih amburadul. Alasannya, sangat masuk akal, karena listrik di kantor-kantor kecamatan sering mati. Jika alasan ini benar, maka pemerintah perlu membuat suatu kebijakan, yaitu mempersamakan kantor kecamatan sama seperti rumah pejabat, yang 24 jam dalam sehari sepanjang tahun tidak pernah mengalami pemadaman listrik.

Kembali kepada sistem pelayanan pengadaan secara elektronik (mudah-mudahan tidak menggunakan istilah tender on-line), menurut Paul Simonett (advisor MCC), berdasarkan data yang dipublikasikan oleh World Bank, proses pengadaan secara elektronik bisa menghemat biaya antara 10-20%. Di Indonesia, penerapan sistem ini bekerja sama dengan Bappenas, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, KPK dan Mahkamah Agung. Untuk proyek percontohan, sistem ini mulai diterapkan secara terbatas pada lima provinsi, yaitu Provinsi Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Tengah, dan Provinsi Gorontalo. Untuk memayungi pelaksanaan sistem ini, sekarang sedang dipersiapkan Peraturan Presiden tentang LPSE, yang sudah dalam tahap pembahasan antar departemen.

Yang sangat menarik adalah pendapat para pakar yang merasa optimis bahwa sistem layanan pengadaan secara elektronik akan mampu melawan kejahatan tender. Alasannya adalah karena dalam sistem ini, antara penyedia jasa dengan panitia selama proses tender, tidak perlu bertatap muka (kalau silaturrahmi di masjid boeh, mungkin), sehingga bisa menghindari praktik KKN. Antara panitia dengan penyedia jasa dimungkinkan untuk bisa saling bertukar dokumen elektronik. Tapi saya jadi bertanya, bagaimana untuk menghindari saling tatap muka jika dalam proses lelang memerlukan penjelasan pekerjaan (aanwijzing) lapangan?

Pada kenyataannya, praktik KKN juga tidak mengharuskan antara pelakuknya saling bertatap muka.Tapi, bagaimanapun juga, langkah pemerintah ini adalah sebuah terobosan besar yang perlu diapresiasi secara postif. Saya memprediksi bahwa penerapan sistem ini akan lebih efektif jika pemerintah juga berusaha melakukan upaya-upaya untuk merobah mindset dan mental para pelaku pembangunan di Indonesia. Apalagi kemajuan teknologo tidak hanya dimanfaat untuk kebaikan semata, tetapi juga dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan. Cyber crime adalah salah satu ancaman yang sangat serius bagi penerpan sistem ini.

Read more...

Goyang! Patenkan Saja......

Tadi malam saya menyaksikan acara pemilihan Putri Indonesia 2008. Sangat menarik karena pesertanya para perempuan yang tentu saja cantik. Tapi katanya, penilaian bukan hanya pada aspek kecantikan semata, melainkan mengandung unsur B3 (bukan limbah beracun) yaitu brain, beauty, behavior. Mungkin karena gugup ketika menerima pertanyaan secara acak dan mendadak, mereka seperti kehilangan kecerdasannya. Dan yang lebih menonjol pada akhirnya hanya tinggal B3 (bening banget boo…). 

Lihat saja, ketika salah seorang finalis menerima pertanyaan seputar maraknya pembajakan karya cipta dan upaya-upaya penanggulangannya. Secara spontan calon Putri Indonesia 2008 ini menjawab, bahwa segala karya cipta dan warisan budaya harus segera dipatenkan agar tidak dibajak. Mungkin putri B3 ini lupa bahwa yang dibajak itu justeru karya cipta yang sudah dipatenkan itu. Karena kalau membajak karya cipta yang belum dipatenkan, namanya bukan pembajakan! Atau mungkin yang dia maksud adalah adanya klaim dari negara jiran terhadap warisan leluhur kita seperti; angklung, batik, dan lagu rasa sayang eeeeeeee......

Kita memang harus waspada terhadap klaim dari negara tetangga yang berasal dari satu rumpun Melayu itu. Baru-baru ini, salah seorang artis kita yang sangat terkenal dengan goyang ngebornya ditolak tampil di Ibukota negara tersebut, yang menurut sang artis tanpa alasan yang jelas. Tapi saya menjadi curiga, jangan-jangan para petinggi negara itu sedang ancang-ancang untuk mematenkan salah satu jenis “goyang” maut itu. Jika kecurigaan ini benar, berarti memang ada benang merah antara pertanyaan yang diajukan oleh panitia pemilihan dengan jawaban para calon Putri Indonesia 2008 itu.

Sebelum terlambat, saya mengusulkan agar goyang karya cipta anak bangsa itu segera dipatenkan. Saat ini setidaknya ada 3 (tiga) jenis goyang yang harus dipatenkan (data terakhir 16 agustus 2008) yaitu goyang ngebor, goyang patah-patah, dan goyang gergaji. Para pemilik goyang setan itu sekarang sedang menuai protes dan dicekal dimana-mana.

Tapi mengapa harus dipatenkan? Lantas apa keuntungannya jika goyang-goyang itu dipatenkan? (sebaiknya pertanyaan ini diajukan juga oleh panitia pemilihan Putri Indonesia 2008 kepada para finalis).

Tapi, menurut saya, setidaknya ada beberapa keuntungan yang dapat diperoleh jika goyang-goyang itu (termasuk goyang-goyang setan lainnya) bila dipatenkan, di antara nya; negara lain tidak akan membajaknya (karena jijik) sehingga kita berhasil menghentikan ekspor maksiat, orang (laki-laki dan perempuan) akan berhati-hati melakukan goyangan itu karena bisa didenda bila melakukannya (membajak), suami atau isteri yang berperilaku aneh-aneh akan semakin hati-hati terhadap pasangannya jika tidak mau keluar biaya ekstra untuk membayar hak paten, dan yang lebih utama menjelang Ramadhan, pemerintah dan MUI membeli semua hak paten itu lalu melarang siapapun melakukannya, termasuk pencipta dan pemilik pertamanya.

Jadi patenkan saja……

Read more...

my quote

Alfian's favorite quotes


"The journey of a thousand miles begins with a single step."— Lao Tsu

About This Blog

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP