Pernikahan Dini vs Perzinahan Dini
Ketika Pujiono Cahyo Widianto, sang miliyuner, yang akrab disapa Syekh Puji menikah (lagi), tiba-tiba pernikahan itu menjadi sangat sensasional dan menimbulkan kontoversi. Banyak kalangan merasa antipati dengan manuver perkawinan pemilik ponpes Miftakhul Jannah itu, hanya karena sang syekh memilih gadis belia berusia menjelang 12 tahun. Salahkah perbuatan syekh Puji? Dari sinilah kontroversi itu bermula. Kita begitu banyak mendengar dan menyaksikan orang-orang berkomentar miring terhadap perkawinan dini, dengan alasan anak-anak yang melakukan perkawinan dini akan kehilangan masa indahnya sebagai anak-anak.
Tahukan kita bahwa begitu banyak anak-anak yang terlibat zina dini? Anak-anak ini bukan saja hanya kehilangan indahnya masa anak-anak, tetapi bahkan telah kehilangan keindahan di sepanjang hidupnya. Begitu banyak anak-anak, terutama kalangan marjinal, tidak pernah merasakan indahnya masa anak-anak itu, meskipun mereka tinggal bersama orang tua sendiri. Bahkan tidak jarang, perlakuan buruk, bejat dan tanpa peri kemanusiaan itu justeru datang dari orang-orang yang seharusnya memberikan keindahan masa anak-anak itu.
Banyak kalangan menilai bahwa perkawinan (lagi) syekh Puji didasari oleh hawa nafsunya (syahwat), sehingga sang syekh dihujat. Tapi adakah perkawinan di dunia ini yang tidak melibatkan hawa nafsu?. Ternyata syekh Puji memiliki kecerdasan nafsu yang sangat cemerlang. Nafsunya ternyata tidak tertarik kepada kecantikan dan keindahan penampilan fisik semata. Ia tidak mengumbar nafsunya kepada para selebriti, misalnya para artis yang cuantik dan sueksi ‘bok…. (sorry ya seleb!!!). Ia tidak tertarik untuk memperisteri perempuan-perempuan cantik yang memiliki rekam jejak masa lalu yang aneh-aneh. Padahal dengan segala nikmat duniawi yang dimilikinya beliau dengan mudah dapat melakukannya.
Sykeh Puji juga tidak mengumbar nafsunya kepada para pekerja sek anak-anak (katanya bahkan ada yang berumur antara tujuh sampai sepuluh tahun). Padahal kalau ia mau, itu juga dengan sangat mudah ia dapatkan. Tapi itulah syekh Puji, yang kemudian memilih seorang gadis yang sangat jelas identitas jasmani dan rohaninya.
Jodoh manusia memang sudah ditentukan oleh Sang Pencipta. Akan tetapi, jika tanpa usaha, maka jodoh itu tidak akan pernah ditemukan. Sykeh Puji agaknya yakin benar bahwa Lutfiana Ulfa adalah bahagian dari ketentuan Sang Pencipta itu. Ia berusaha (mencari) lalu menemukan jodohnya itu. Ia mengangkat derajatnya, membimbingnya, melindunginya, mendidiknya, memperisterikannya, menjadikannya wanita muslimah yang terhormat, tidak membiarkannya terjerumus kedalam perbuatan zina dini, memberinya nafkah lahiriah yang berlimpah. Bukankah itu semua adalah tujuan hidup seorang wanita. Jika saja gadis belia Lutfiana Ulfa menemukan itu semua dalam usia dini, apakah itu harus diingkari?
Saya bukanlah pembela perilaku Pujiono Cahyo Widianto, saya tidak pernah mengenal beliau baik secara langsung maupun tidak langsung. Dan Insya Allah saya juga tidak berniat dan tidak berminat mengikuti jejak langkahnya. Saya hanya pemerhati masalah sosial, terutama masalah kemiskinan. Cobalah telusuri lebih jauh, kebanyakan anak-anak usia sekolah dasar dan sekolah menengah sekarang ini hanya bicara tiga hal; seksual, obat-obatan, dan hura-hura, menyedihkan.
Di jalanan sana banyak anak-anak (gadis) sebaya Lutfiana Ulfa, bahkan mungkin jauh lebih belia, yang bernasib buruk. Mereka-mereka itu tidak dinikahi dini, tetapi dizinahi sejak dini. Seandainya saja ada banyak orang seperti syekh Puji dan mau menyelamatkan mereka, meskipun harus melakukan pernikahan dini, akankah kak Seto Cs, para ulama, aparat penegak hukum, dan para moralis lainnya akan melarangnya? Lantas membiarkan mereka melakukan zinah dini?
Tahukan kita bahwa begitu banyak anak-anak yang terlibat zina dini? Anak-anak ini bukan saja hanya kehilangan indahnya masa anak-anak, tetapi bahkan telah kehilangan keindahan di sepanjang hidupnya. Begitu banyak anak-anak, terutama kalangan marjinal, tidak pernah merasakan indahnya masa anak-anak itu, meskipun mereka tinggal bersama orang tua sendiri. Bahkan tidak jarang, perlakuan buruk, bejat dan tanpa peri kemanusiaan itu justeru datang dari orang-orang yang seharusnya memberikan keindahan masa anak-anak itu.
Banyak kalangan menilai bahwa perkawinan (lagi) syekh Puji didasari oleh hawa nafsunya (syahwat), sehingga sang syekh dihujat. Tapi adakah perkawinan di dunia ini yang tidak melibatkan hawa nafsu?. Ternyata syekh Puji memiliki kecerdasan nafsu yang sangat cemerlang. Nafsunya ternyata tidak tertarik kepada kecantikan dan keindahan penampilan fisik semata. Ia tidak mengumbar nafsunya kepada para selebriti, misalnya para artis yang cuantik dan sueksi ‘bok…. (sorry ya seleb!!!). Ia tidak tertarik untuk memperisteri perempuan-perempuan cantik yang memiliki rekam jejak masa lalu yang aneh-aneh. Padahal dengan segala nikmat duniawi yang dimilikinya beliau dengan mudah dapat melakukannya.
Sykeh Puji juga tidak mengumbar nafsunya kepada para pekerja sek anak-anak (katanya bahkan ada yang berumur antara tujuh sampai sepuluh tahun). Padahal kalau ia mau, itu juga dengan sangat mudah ia dapatkan. Tapi itulah syekh Puji, yang kemudian memilih seorang gadis yang sangat jelas identitas jasmani dan rohaninya.
Jodoh manusia memang sudah ditentukan oleh Sang Pencipta. Akan tetapi, jika tanpa usaha, maka jodoh itu tidak akan pernah ditemukan. Sykeh Puji agaknya yakin benar bahwa Lutfiana Ulfa adalah bahagian dari ketentuan Sang Pencipta itu. Ia berusaha (mencari) lalu menemukan jodohnya itu. Ia mengangkat derajatnya, membimbingnya, melindunginya, mendidiknya, memperisterikannya, menjadikannya wanita muslimah yang terhormat, tidak membiarkannya terjerumus kedalam perbuatan zina dini, memberinya nafkah lahiriah yang berlimpah. Bukankah itu semua adalah tujuan hidup seorang wanita. Jika saja gadis belia Lutfiana Ulfa menemukan itu semua dalam usia dini, apakah itu harus diingkari?
Saya bukanlah pembela perilaku Pujiono Cahyo Widianto, saya tidak pernah mengenal beliau baik secara langsung maupun tidak langsung. Dan Insya Allah saya juga tidak berniat dan tidak berminat mengikuti jejak langkahnya. Saya hanya pemerhati masalah sosial, terutama masalah kemiskinan. Cobalah telusuri lebih jauh, kebanyakan anak-anak usia sekolah dasar dan sekolah menengah sekarang ini hanya bicara tiga hal; seksual, obat-obatan, dan hura-hura, menyedihkan.
Di jalanan sana banyak anak-anak (gadis) sebaya Lutfiana Ulfa, bahkan mungkin jauh lebih belia, yang bernasib buruk. Mereka-mereka itu tidak dinikahi dini, tetapi dizinahi sejak dini. Seandainya saja ada banyak orang seperti syekh Puji dan mau menyelamatkan mereka, meskipun harus melakukan pernikahan dini, akankah kak Seto Cs, para ulama, aparat penegak hukum, dan para moralis lainnya akan melarangnya? Lantas membiarkan mereka melakukan zinah dini?
0 comments:
Post a Comment